Mengungkap Rahasia UU HKPD

Mengungkap Rahasia UU HKPD


Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) telah menjadi pusat perhatian, terutama karena telah dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materiil. UU tersebut disoroti terutama terkait batas minimal tarif pajak hiburan yang termasuk dalam objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT), yang telah ditetapkan sebesar 40%. Perhatian terhadap pajak hiburan dalam UU HKPD ini muncul dari berbagai kalangan, termasuk pengacara terkenal seperti Hotman Paris Hutapea dan seniman seperti pedangdut Inul Daratista.

Selain masalah terkait pajak hiburan, uji materiil juga telah dilakukan terhadap UU HKPD terkait ketentuan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), terutama BPHTB waris dan pemisah hak, karena ketidakjelasan dalam rumusan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD.

Namun, untuk memahami konteks UU HKPD secara keseluruhan, perlu untuk memahami substansi dari undang-undang tersebut. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan yaitu Luky Alfirman, telah menjelaskan bahwa UU HKPD bertujuan untuk mereformasi desentralisasi ekonomi dan fiskal, membangun pusat-pusat ekonomi di daerah, serta meningkatkan pemerataan ekonomi.

UU HKPD juga bertujuan untuk memperbaiki ketentuan transfer ke daerah (TKD) berbasis kinerja, yang dijelaskan secara rinci dalam Bab III UU HKPD, mulai dari pasal 106. Sebagai contoh, dana bagi hasil (DBH) sawit diarahkan untuk penanganan dampak negatif aktivitas perkebunan sawit, sambil memperhatikan kebutuhan daerah.

Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan dan kualitas layanan publik di daerah. Pagu nasional DAU ditetapkan dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan publik, kemampuan Keuangan Negara, pagu TKD secara keseluruhan, dan target pembangunan nasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 126 UU HKPD.

UU HKPD juga menata ulang ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah, mempertahankan akses masyarakat terhadap layanan dasar, kemudahan berusaha, serta memperkenalkan skema Opsen atau piggyback tax untuk memberikan kepastian penerimaan daerah tanpa menambah beban wajib pajak.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur secara rinci dalam Bab II UU HKPD. Pada Pasal 4, ditetapkan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintahan provinsi, hingga kabupaten atau kota. Di tingkat provinsi, diperkenalkan pungutan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB), sedangkan di tingkat kabupaten/kota, opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Di samping pengaturan pendapatan daerah, UU HKPD juga menekankan peningkatan kualitas belanja. Melalui skema simplifikasi dan sinkronisasi penganggaran belanja sesuai program prioritas daerah, UU HKPD mengamanatkan penyusunan belanja daerah didasarkan pada standar harga, batasan belanja pegawai, dan belanja infrastruktur layanan publik untuk memberikan manfaat bagi masyarakat di daerah.

Pembiayaan utang di daerah menjadi objek pengaturan UU HKPD. Pinjaman daerah bisa bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, atau lembaga keuangan non-bank. Namun, pembiayaan langsung dari pihak luar negeri dilarang, dan pembiayaan utang daerah harus mendapat persetujuan DPRD.

UU HKPD juga mengatur skema sinergi fiskal nasional untuk kesinambungan fiskal. Ini termasuk penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang daerah, serta sinergi sistem informasi termasuk penggunaan bagan akun standar.

Pemerintah Daerah diharapkan menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, arahan Presiden, dan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 UU HKPD.

Comments are disabled.